Kamis, 29 Juli 2021

MATA PELAJARAN : SIROH NABAWIYAH KELAS XI

 

MATA PELAJARAN :

SIROH NABAWIYAH

 KELAS XI PPM. MBS PLERET

PENGAMPU : IIN SHOLIHIN

 

 MEMAHAMI SIROH - TARIKH - QISHOH - HIKAYAT

TARIKH - secara bahasa berarti ketentuan waktu. Secara pengertian tarikh istilah adalah ilmu yang menggali peristiwa-peristiwa masa lampau agar tidak dilupakan. Ilmu tarikh sepadan dengan pengertian ilmu sejarah pada umumnya. Awalnya, tarikh bermakna penetapan bulan kemudian meluas menjadi kalender dalam pengertian umum. Dalam perkembangan selanjutnya, tarikh bermakna pencatatan peristiwa. Semakin maju, ilmu tarikh menjadi lebih luas dan beragam sesuai dengan perkembangan teknologi pencatatan itu sendiri.

QISHAH - berarti bekasan atau mengikuti bekasan (jejak).Lafadz qashash adalah mashdar yang berarti mencari bekasan atau jejak. Qashah bermakna: urusan, berita, khabar dan keadaan. Qashah atau kisah juga berarti berita-berita yang berurutan. Qashah al-Qur’an ialah khabar-khabar dari al-Qur’an tentang keadaan-keadaan umat yang telah lalu dan kenabian masa dahulu, peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri serta menerangkan bekasan-bekasan dari kaum-kaum purba itu (T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 1993: 187). Imam ar-Raghib al-Ashfahani mengatakan dalam kitab Mufradat-nya (al-Muradât fi Ghârib al-Qur’an) tentang kata ini (qishash), “al-Qashah berarti mengikuti jejak”.Dikatakan, qashashtu atsaruhu “saya mengikuti jejaknya”.

HIKAYAT -  berasal dari bahasa Arab hikayah yang berarti kisah, cerita, atau dongeng. Dalam sastra Melayu lama, hikayat diartikan sebagai cerita rekaan berbentuk prosa panjang berbahasa Melayu, yang menceritakan tentang kehebatan dan kepahlawanan orang ternama dengan segala kesaktian, keanehan, dan karomah yang mereka miliki. Orang ternama tersebut biasanya raja, puteraputeri raja, orang-orang suci, dan sebagainya. Hikayat termasuk karya yang cukup populer di masyarakat Melayu dengan jumlah cerita yang cukup banyak.

SIROH - Secara bahasa kata Sirah berasal dari kata sara yasiru sayra, tas-yara, masara dan sara as sunnata atau sara as sirah; salakaha wa ittaba’ah (yakni menempuh dan mengikutinya). Ibnu Mandzur dalam kitab Lisanul Arab menyatakan arti as-sirah menurut bahasa adalah kebiasaan, jalan, cara, dan tingkah laku. Menurut istilah umum, artinya adalah perincian hidup seseorang atau sejarah hidup seseorang.    

“Sirah Nabawiyah”, secara istilah syar’i maksud dari as-sirah an-nabawiyah adalah Ilmu yang kompeten yang mengumpulkan apa yang diterima dari fakta-fakta sejarah kehidupan Rasulullah S.A.W. secara komprehensif dari sifat-sifatnya, etika dan moral. Sirah Nabawiyah berisi perincian kisah hidup Nabi SAW, yakni asal-muasal, suku dan nasab, dan keadaan masyarakatnya, sebelum beliau dilahirkan. Kemudian berlanjut kepada kelahiran beliau, masa kecil, remaja, dewasa, pernikahan, diangkat menjadi nabi, serta perjuangan-perjuangan beliau dalam menegakkan Islam hingga beliau wafat. Alquran banyak menerangkan kisah-kisah yang bertujuan untuk dijadikan teladan bagi manusia. Selain itu, ada perintah untuk memperhatikan tarikh sebagai pelajaran. Seperti, dalam surah Ar-Ruum ayat 9 :

أَوَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۚ كَانُوا أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَأَثَارُوا الْأَرْضَ وَعَمَرُوهَا أَكْثَرَ مِمَّا عَمَرُوهَا وَجَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ ۖ فَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

Artinya : Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebihkuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri.

______________________________________________________________________

 

BAB 1

BERDIRINYA DAULAH  BANI UMAYYAH

 

 

Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdul Syams bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kilab. Ia berasal dari salah satu pemimpin suku Quraisy. Muawiyah dinilai memiliki cukup persyaratan untuk menjadi pemimpin, beliau berasal dari keluarga bangsawan kaya dan dihormati oleh masyarakatnya. Pada awal perkembangan Islam, sebagian besar anggota keluarga Dinasti Bani Umayyah menentang dakwah Nabi Muhammad saw. Namun ketika beliau dan umat Islam berhasil menduduki kota Mekah pada tahun 8 H/630 M, keluarga Bani Umayyah menyerah dan menyatakan bersedia masuk Islam. Sedangkan Muawiyah sendiri telah masuk Islam sebelum peristiwa Fathu Makkah.

Pada masa Rasulullah, Muawiyah turut serta dalam Perang Hunain. Ia merupakan salah satu penulis wahyu. Karir politik Muawiyah terus berlanjut pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Siddiq. Ia mendampingi saudaranya Yazid bin Abu Sufyan ke Syam dan berhasil menaklukkan negeri tersebut ke kekuasaan Islam. Ketika Yazid wafat, Abu Bakar mempercayakan kepada Muawiyah menjadi gubernur untuk wilayah Syam, menggantikan Yazid. Keputusan Abu Bakar didukung oleh sahabat Umar dan Usman. Pada masa pemerintahan Umar, Muawiyah masih dipercaya sebagai gubernur wilayah Syam.

Pada masa pemerintahan Khalifah Usman ibn Affan (23-35 H/644-656 M), Muawiyah diangkat kembali menjadi gubernur Wilayah Syam dengan ibu kota Damaskus. Ia menguasai wilayah Syam sekitar dua puluh tahun. Hampir seluruh penduduk Syam sangat setia kepada Muawiyah. Ketika Usman ibn Affan meninggal karena terbunuh pada saat membaca Al-Qur'an, Muawiyah menuntut Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang waktu itu diangat sebagai khalifah menggantikan Usman, untuk mengusut tuntas siapa saja yang terlibat dalam kasus pembunuhan terhadap Khalifah Usman bin Affan.

Atas dasar tuntutan tersebut, Muawiyah tidak mau mengakui Ali ibn Abi Thalib (35-40 H/656-661 M) sebagai khalifah sampai Ali bisa menemukan dan menghukum pembunuh Khalifah Usman. Ali menganggap Muawiyah sebagai pemberontak karena tidak mau mengakui kekhalifahannya, dan atas dasar itulah Ali memerangi Muawiyah, kemudian terjadi perang antara tentara Ali dan Muawiyah, peperangan tersebut disebut sebagai Perang Siffin. Pada peristiwa Siffin pasukan Ali hampir mendapatkan kemenangan, namun tiba-tiba dari pihak Muawiyah mengangkat Al-Qur'an dengan tombak sebagai tanda berdamai. Ide untuk mengangkat Al-Qur'an sebagai tanda berdamai merupakan siasat dari pengikut setia Muawiyah yaitu Amr ibn Ash, seorang politisi, dan diplomat ulung. Ali sendiri pada mulanya ragu akan niat baik damai dari pihak Muawiyah yang hampir mengalami kekalahan. Pasukan Ali terbelah menjadi dua, satu pihak setuju damai dan di lain pihak menolak. Namun pada akhirnya Ali menerima tawaran damai dengan cara tahkim (arbitrase).

 

Dalam peristiwa tahkim, kedua belah pihak setuju mengutus utusan. Pihak Muawiyah diwakili oleh Amr ibn Ash dan dari pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy'ari. Pada waktu tahkim masing-masing pihak menyepakati untuk menurunkan jabatan Ali dan Muawiyah. Amr ibn Ash mempersilahkan Abu Musa sebagai orang yang lebih tua berpidato mewakili Ali. Setelah selesai berpidato yang salah satu isinya menurunkan Ali sebagai khalifah, maka giliran Amr ibn Ash berbicara mewakili Muawiyah. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Amr ibn Ash untuk mengumumkan kepemimpinan Muawiyah, karena Abu Musa telah menurunkan Ali sebagai khalifah. Dengan siasat ini, peristiwa tahkim lebih menguntungkan pihak Muawiyah dan menimbulkan kekecewaan bagi pihak Ali, sehingga banyak tentara Ali yang keluar dari barisan yang dikenal dengan kelompok Khawarij. Kaum Khawarij menganggap bahwa yang terlibat dalam peristiwa tahkim telah melakukan dosa besar sehinga semuanya harus bertobat atau dibunuh. Kelompok Khawarij berencana membunuh Ali, Muawiyah, dan Amr. Namun, hanya kelompok yang diketuai Abdurrahman bin Muljam yang berhasil membunuh Ali. Sedangkan Muawiyah dan Amr tidak berhasil dibunuh oleh kelompok Khawarij, karena kedua tokoh tersebut dikawal dengan pengawalan ekstra ketat, meniru gaya pengawalan kerajaan Romawi.

 

Kekuasaan Dinasti Bani Umayyah dimulai pada masa berkuasanya Muawiyah bin Abu Sufyan, tepatnya setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib. Setelah Ali wafat, orang-orang Madinah membaiat Hasan bin Ali, namun Hasan cenderung mengalah dan menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan. Hal ini dilakukan Hasan dengan tujuan menghindari perang berkepanjangan dan timbulnya banyak fitnah di internal kaum Muslimin, mulai dari terbunuhnya Usman bin Affan, pertempuran Shiffin, Perang Jamal dan pengkhianatan orang-orang Khawarij dan Syi‘ah. Hasan setuju menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Muawiyah dengan syaratsyarat sebagai berikut:

Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak;

Muawiyah harus membayar utang-utangnya (kepada Hasan dan Husain dengan sejumlah uang dari pajak);

Setelah Muawiyah, pemilihan atau pengangkatan khalifah harus diserahkan kembali kepadanya dan musyawarah kaum muslimin (Jalaluddin as-Suyuthi: 239). Tentang jumlah jaminan Muawiyah kepada Hasan dan Husain disebutkan sejarawan Philip K. Hitti, mengutip dari sejarawan klasik ad-Dinawari, at-Thabari, dan al-Ya‘qubi, bahwa Muawiyah akan memberi subsidi dan pensiun seumur hidup sebesar 5.000.000 dirham dari perbendaharaan Kufah (Philip K. Hitti, 2005: 236).

Perjanjian tersebut terjadi pada tahun 41/661, tahun tersebut disebut juga Am al-Jamaah (tahun persatuan) karena kaum Muslimin bersatu dalam satu kepemimpinan. Segera setelah menjadi pemimpin, Muawiyah mengambil alih daerah Mesir dari seorang gubernur yang diangkat Khalifah Ali, kemudian jabatan tersebut diberikan kepada diplomat ulung dan pendukung setia Muawiyah, Amr ibn Ash. Dengan perjanjian ini, maka telah berdiri awal pemerintahan Muawiyah dan sekaligus merupakan akhir periode khulafaurrasyidin. Periode Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa kurang lebih 91 tahun dari 41 H/661 M sampai 132 H/750 M. Pada masa kekuasaan Muawiyah, pemerintahan yang sebelumnya bersifat demokratis berubah menjadi Monarchiheridetis (kerajaan turun-temurun). Pemilihan khalifah tidak lagi berdasarkan musyawarah pemilihan dan suara terbanyak. Muawiyah bermaksud mencontoh sistem monarchi kekaisaran Persia dan Bizantium. Ia mengangkat anaknya bernama Yazid bin Muawiyah (60-64/681-684) sebagai penggantinya.

 

FASE-FASE PEMERINTAHAN DINASTI BANI UMAYYAH

Dinasti Bani Umayyah dengan ibu kotanya di Damaskus berlangsung selama 91 tahun dan diperintah oleh 14 khalifah, mereka adalah:

1.       Muawiyah bin Abu Sufyan (40-60/660-680)

2.       Yazid bin Muawiyah (60-64/680-684)

3.       Muawiyah II (63-64/683-684)

4.       Marwan bin al-Hakam (64-65/684-685)

5.       Abdul Malik bin Marwan (65-86/685-705)

6.       Al-Walid bin Abdul Malik (86-96/705-715)

7.       Sulaiman bin Abdul Malik (96-99/715-717)

8.       Umar bin Abdul Aziz (99-101/717-719)

9.       Yazid bin Abdul Malik (101-105/720-7 24)

10.   Hisyam bin Abdul Malik (105-125/724-743)

11.   Al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik (125-126/743-743)

12.   Yazid bin Walid bin Abdul Malik (126/743-126/743)

13.   Ibrahim bin al-Walid (127/744-127/744)

14.   Marwan bin al-Hakam (127-132/744-750).

 

Setelah Muawiyah resmi memimpin Dinasti Bani Umayyah, ia memindahkan ibu kota ke Damaskus. Pemindahan ibu kota dari Madinah ke Damaskus melambangkan zaman imperium baru dengan menggesernya dari pusat Arabia, yaitu Madinah yang mulanya merupakan pusat agama dan politik pada masa khulafaurrasyidin kepada sebuah kota kosmopolitan Damaskus. Dari kota inilah Dinasti Bani Umayyah memerintah umat Islam, memperluas wilayah kekuasaan Islam dan mengembangkan pemerintahan sentral yang kuat. Perubahan sistem pemerintahan dari khilafah ke kerajaan, setidaknya ada pengaruh dari kekaisaran Romawi.

Telah disebutkan bahwa Dinasti Bani Umayyah dipimpin oleh 14 khalifah, dan dari ke 14 pemimpin tersebut, hanya beberapa saja yang dianggap mempunyai reputasi terhadap perkembangan Dinasti Bani Umayyah. Mereka antara lain adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, Abdul Malik bin Marwan, Al-Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Hisyam, selebihnya adalah para khalifah yang dianggap tidak banyak memberi kontribusi terhadap dinasti ini. bahkan menjadi penyebab bagi kehancuran dinasti.

Sejarah Dinasti Bani Umayyah dibagi menjadi tiga periode;

·         Periode perintisan dan permulaan,

·         Periode pengembangan dan kejayaan,

·         Periode kemunduran dan kejatuhan.

Periode pertama dilakukan pemimpin pertama Dinasti Bani Umayyah yaitu Muawiyah dengan konsolidasi internal dan menyingkirkan lawan-lawan politik. Muawiyah mengerti karakter suku-suku Arab, karena itu dia memberi otonomi kepada para angota suku, dan hanya masalah yang dia anggap krusial saja diambil pemerintah pusat.

>>>>>>>> BERSAMBUNG

 

 

 

><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><>

TUGAS : UJI KOMPETENSI


Adapun yang menjadi tugas untuk para siswa/ santri adalah sebagai berikut  :  Jawablah dengan singkat dan jelas beberapa pertanyaan berikut ini  …..

1)      Apa pebedaan antara : siroh, tarikh, qishoh, dan hikayat ? coba jelaskan singkat…!

2)      Apa pebedaan antara : qishoh, dan hikayat ? coba jelaskan singkat…!

3)      Bagamanakah sejarah Berdirinya Daulah Umayyah 1 ?  

4)      Apa yang kamu tau tentang Perang Siffin dan Perang Jamal ?

5)      Seperti apakah Sistem Pemerintahan Islam Pada Masa Bani Umayyah 1 ?

6)      Seperi apakah gambaran Masa Kejayaan Daulah Umayyah 1 ?

7)      Bagaimanakah Kondisi Keagamaan pada Masa Bani Umayyah  1 ?

 

TERIMAKASIH,

USTADZ TUNGGU JAWABANMU. INGAT JAWABAN DARI TUGAS INI SEBAGAI BUKTI ABSENSI KEHADIRAN DAN KEAKTIFANMU.

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar