Keberkahan Ibadah hingga Tujuh Turunan
(Sepenggal Kisah Nabi Khidir AS)
Yuk... Ibadah, Ibadah, Ibadah..... mumkin kita sering diingatkan dengan "tadzkir" kata seperti di atas. Kadang kita merespon tadzkir ini dengan sikap biasa, terkadang atau sering kita respon dengan sikap malas. dan jarang sekali kita merespon dengan sikap semangat dan kesungguhan. Karena paradigma kita telah mengakar bahwa : Ibadah itu nafsi -nafsi.... tidak usah diingatkanpun nanti atau kelak akan dilakoni. gak perli diingatkan apalagi diperintah... ??!!. Ada juga yang menganggap : Ibadah itu urusan orang tua, orang yang sudah mau mati, sementara kaum muda belum begitu butuh dengan yang namanya ibadah. Dan Ibadah itu gak ada untungya secara materi / finansial. Dan Ibadah tidak berpengaruh dam sendi kehidupan. Begitu Bukan /// kebanyakan anggapan orang utamanya orang 'awwam.
kami katakan : SALAH BESAR BRO..... !!!
Ibadah adalah kewajiban, bahkan ibadah merupakan kebutuhan, ibadah sejatinya merupakan tujuan diciptakannya JIn dan Manusia di muka jagad raya ini.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku”
(QS: adz-Dzariyat;56)
Saking pentinya ibadah, Alloh SWT memberikan rambu - rambu kepada kita seperti yang tertera dalam surat Dzariyat tersebut. Alloh SWT punya maksud dan tujuan dari perintah ibadah tersebut, dan tentu akan ada nilai manfaat yang dapat diambil dari perintah ibadah tersebut. Apa benar - benar ada ??? dan apakah benar nyata ada nilai/ manfaat dari ibadah itu...??? mari kita buru jawabannya....
Dikisahkan, dalam sebuah perjalanan Nabi Musa sampai tiga kali mempertanyakan perbuatan Nabi Khidir yang dinilainya melanggar syariat Allah. Pada akhir perjalanannya, Nabi Khidir menjelaskan perihal perbuatannya tersebut. Salah satu perbuatan yang dipertanyakan tersebut adalah mana kala Nabi Khidir membangun sebuah rumah yang hampir roboh di sebuah desa. Nabi Musa mengusulkan kepada Nabi Khidir untuk meminta upah kepada penduduk desa atas kesediaannya menegakkan kembali dinding rumah yang hampir roboh itu. Padahal sebelumnya ketika kedua nabi itu memasuki desa tersebut dan meminta makanan kepada penduduknya mereka menolak memberi makanan tersebut. Dalam hal ini Nabi Khidir menjelaskan sebagaimana direkam oleh Al-Qur’an dalam Surat al-Kahfi ayat 82:
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا
“Adapun tembok rumah yang hampir roboh itu adalah milik dua anak yatim di desa itu di mana di bawahnya terdapat simpanan harta bagi keduanya. Orang tua kedua anak itu adalah orang yang saleh. Maka Tuhanmu berkehendak keduanya mencapai dewasa dan akan mengeluarkan harta simpananya.”
Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Al-Qur’anul ‘Adhim menjelaskan bahwa kedua anak yatim itu dijaga sebab kesalehan orang tuanya dan tidak disebutkan kesalehan kedua anak itu. Antara kedua anak yatim dan orang tua yang saleh itu ada selisih tujuh generasi leluhur. Jadi yang dimaksud “orang tua yang saleh” pada ayat tersebut adalah kakek pada generasi urutan ketujuh dari anak yatim tersebut, bukan orang tua yang melahirkan keduanya.
Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa seorang yang saleh akan dijaga keturunannya dan keberkahan ibadahnya akan meliputi mereka di dunia dan akhirat. Dengan syafaatnya di akherat kelak keturunannya akan diangkat derajatnya di surga hingga derajat tertinggi sehingga bisa menjadi kebanggaan bagi orang yang saleh tersebut.
Dalam hal ini Tajudin Naufal dalam Hadiqatul Auliya’-nya mengatakan, bila ketakwaan kakek yang ketujuh saja dapat memberikan kemanfaatan bagi keturunannya yang ke tujuh, lalu bagaimana pendapat kita dengan ketakwaan orang tua kandung? Tak dapat disangkal, pohon yang baik pasti berbuah baik. Orang yang memakannya tak akan berhenti dan tetap kekal kebaikannya dengan ijin Allah Ta’ala.
Dari inilah banyak para ulama yang menganjurkan kepada para orang tua untuk terus giat dan istiqamah dalam beribadah. Karena keberkahan ibadah itu tidak hanya akan dinikmati oleh diri sendiri tapi juga oleh anak-anak keturunannya baik di dunia maupun di akherat kelak
Sumber :
Tafsir Al-Qur’anul ‘Adhim, Imam Ibnu Katsir
Hadiqatul Auliya’, Syaikh Tajudin
Tafsir Al-Qur’anul ‘Adhim, Imam Ibnu Katsir
Hadiqatul Auliya’, Syaikh Tajudin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar