NYADRAN ALA ROSULULLAH
TELAAH SINGKAT SEBUAH TRADISI YANG BERNUANSA SYAR'I
Penyaji : Iin Solikhin
Memasuki Bulan Sya'ban dan menjelang datangnya Bulan Ramadhan ada sebuah tradisi yang berlangsung cukup lama di tanah air kita Indonesia, khususnya pulau Jawa. Yakni tradisi "Nyadran", sebuah tradisi (adat kebiasaan) masyarakat yang baik, diantara isi dan rangkaian agenda nyadran itu berupa :
1. Membersihkan area pemakaman
2. Melakukan Ziarah kubur/ nyekar
3. Melakukan doa bersama dan tidak lupa memohonkan ampun para ahli kubur
4. Melakukan sedekahan, Ambengan, besek-an kenduri
5. Kumpul bersama untuk ajang silaturahim dan makan bersama
6. Saling memaafkan diantara satu dengan yang lain
7. Mengadakan majelis ta'lim atau pengajian
Maka tentu akan timbul rasa penasaran, menapa masyarakat kita melakukan hal-hal demikian..???
Salah satu jawabannya adalah ....
Karena bulan Sya'ban adalah bulan yang dikategorikan bulan istimewa. Pada bulan Sya’ban ini semua amal manusia dilaporkan kepada Allah. Berkaitan dengan keutamaan bulan Sya’ban ini, al Imam Ibn Rajab al Hanbali, murid terkemuka Syaikh Ibn Qayyim al Jauziyah, berkata dalam kitab Lathaif al-Ma’arif, mengutip hadits Rosulullah yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasaai dan Imam Ahmad sebagai berikut:
قَالَ قُلْتُ وَلَمْ أَرَكَ تَصُومُ مِنْ شَهْرٍ مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَاكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ يُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Usamah bertanya kepada Rosulullah, kataku selanjutnya; "Dan kami tidak melihat engkau banyak berpusa kecuali di bulan Sya'ban?." Beliau bersabda: "Itulah bulan yang orang-orang banyak yang lalai antara bulan Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan ditampakkannya amalan-amalan, dan aku suka ketika amalanku diperlihatkan dihadapan Rabbku, sedangkan aku dalam keadaan berpuasa." (HR An-Nasaai dan Ahmad). >>> Hafizh Ibn Rajab al Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 236.
APAKAH TRADISI ITU BOLEH DALAM AGAMA ISLAM KITA...???
Meskipun Islam datang dengan seperangkat aturan yang telah lengkap, namun demikian Islam tidak serta merta mengabaikan adat atau tradisi/ budaya yang ada di masyarakat. Dalam ilmu Ushul Fiqh, tradisi menjadi salah satu patokan dalam penentuan hukum Islam hingga akhirnya lahirlah kaidah العَادَةُ مُحَكَّمَة (adat istiadat itu mempunyai nilai hukum). Karena itulah melanggar tradisi masyarakat dianggap hal yang tidak terpuji selama tradisi tersebut tidak diharamkan oleh agama. Dalam hal ini Syaikh ibn Muflih al Hanbali murid Ibn Taimiyyah, berkata:
وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لَا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ
“Ibn ‘Aqil berkata dalam kitab al Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah telah membiarkan Ka’bah dan berkata, ‘Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…’. Sayyidina Umar berkata, ‘Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al Qur’an, aku akan menulis ayat rajam di dalamnya.’ Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al Fusul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, ‘Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.’ Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha shalat di musalla pada waktu dilaksanakan salat ‘id (hari raya). Beliau berkata, ‘Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.’(Syaikh Ibn Muflih al-Hanbali: al-Adab al-Shar’iyyah, II, 47).
Sebagain para 'Alim memberikan keterangan.
العادة تخالف كتاب الله وسنة رسول الله فهي مذمومة
Tradisi yang menyelisihi kitabullah dan sunnah Rosulullah maka itu tradisi yang cacat/ jelek. Tidak perlu dijaga dan tidak perlu dilestarikan, bilamana perlu dibasmi dan diberantas sampai ke akarnya.
العادة لاتخالف كتاب الله وسنة رسول الله فهي محمودة. لذلك يجب الاهتمام بها والحفاظ عليها.
Tradisi yang tidak menyelisihi bahkan selaras kitabullah dan sunnah Rosulullah maka itu tradisi yang terpuji dan baik, Maka perlu dijaga dan perlu dilestarikan.
APA ITU NYADRAN...???
Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta “Sraddha” yang artinya keyakinan. Tradisi Nyadran merupakan suatu budaya yang mendoakan leluhur yang telah meninggal dan seiring berjalannya waktu mengalami proses perkembangan budaya sehingga menjadi adat dan tradisi yang memuat berbagai macam seni budaya. Nyadran dikenal juga dengan nama Ruwahan, karena dilakukan pada bulan Ruwah. Tradisi Nyadran berdasarkan sejarahnya merupakan suatu akulturasi budaya jawa dengan Islam.
Nyadran >> Shodrun (صدر). Nyadran sebenarnya berasal dari kata bahasa Arab yang kemudian diadopsi menjadi bahasa jawa. Nyadran berasal dari kata sodrun yang artinya dada atau dibalik dada ada hati/ jantung. dalam sebuah Kalam dikatakan : Bulan Rojab pembersih Jasad, Bulan Sya'ban pembersih Hati, dan Bulan Ramadhan pembersihan Ruhaniy.
Nyadran >>> dari kata "Yaa Daro" (doa saat ziarah) Yadaro-nan jadi Nyadran-an. Dalam Shahih Muslim dipaparkan bahwa setiap kali keluar rumah pada akhir malam menuju Baqi’ (makam para sahabat di Madinah yang kini menjadi makam Rasulullah sendiri), Rasulullah menyapa penduduk makam dengan kalimat berikut:
السَّلامُ عَلَيْكُمْ ياَ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنينَ وَأتاكُمْ ما تُوعَدُونَ غَداً مُؤَجَّلُونَ وَإنَّا إنْ شاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاحقُونَ
Assalamu’alaikum, Wahai tempat bersemayam kaum mukmin. Telah datang kepada kalian janji Tuhan yang sempat ditangguhkan besok, dan kami insyaallah akan menyusul kalian
Secara istilah, nyadran merupakan ritual ibadah keagamaan yang mendoakan orangtua yang sudah meninggal dan dibarengi dengan bersih makam maupun area sekitar pemakaman.
Sadran-an itu untuk mengucapkan rasa syukur yang dilakukan secara kolektif dengan mengunjungi makam atau kuburan leluhur yang ada di suatu tempat. kelurahan atau desa. Nyadran dimaksudkan sebagai sarana mendoakan leluhur yang telah meninggal dunia, mengingatkan diri bahwa semua manusia pada akhirnya akan mengalami kematian, juga dijadikan sebagai sarana guna melestrikan budaya gotong royong dalam masyarakat sekaligus upaya untuk dapat menjaga keharmonisan bertetangga melalui kegiatan makan bersama/ dhahar kembul.
APAKAH ROSULULLAH PERNAH MELAKUKAN NYADRAN...???
Kalau secara ritual umum nyadran, Rosulullah belum pernah melakukannya, karena nyadran baru ada setelah Rosul wafat, dan nyadran hanya ada di beberapa tempat atau daerah khususnya Jawa - Indonesia.
Namun secara esensi (inti) Rosulullah pernah melakukan nyadran-an ini. Berupa ziarah kubur dan doa di Maqbaroh/ makam.
Diantara keterangan dalil yang menjadi dasar anjuran melakukan ziarah kubur/ nyadran di bulan Sya'ban menjelang malam Nisfu Sya’ban, atau pada malam Nisfu Sya’ban, adalah hadis riwayat Ibnu Majah, dari istri Rosulullah yakni Sayidah Aisyah, dia berkata :
فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَخَرَجْتُ فَإِذَا هُوَ بِالْبَقِيعِ رَافِعٌ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ ، فَقَالَ لِي: أَكُنْتِ تَخَافِينَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْكِ وَرَسُولُهُ ؟ قَالَتْ : قُلْتُ : ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لِأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ
Siti Aisyah berkata : Aku pernah kehilangan Rasulullah Saw, kemudian aku keluar, ternyata beliau di pekuburan Baqi’ (Madinah) sambil menengadahkan wajah ke langit. Rasulullah Saw bertanya padaku; Kamu khawatir Allah dan Rasul-Nya akan menipumu?
Aisyah mengatakan; Aku hanya menduga engkau mendatangi istri-istrimu yang lain. Kemudian Rasulullah Saw bersabda; Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada malam Nisfu Sya’ban, kemudian Dia mengampuni lebih dari jumlah bulu domba bani kalb.
Berdasarkan hadis ini, pada bulan Sya'ban (Ruwah - Jawa) khususnya saat malam Nisfu Sya’ban Rasulullah menziarah kuburan Baqi’. Bahkan dalam riwayat lain disebutkan bahwa pada malam tersebut (Sya'ban) Rasulullah didatangi Malaikat Jibril agar menziarahi kuburan Baqi’ dan memohonkan ampun untuk mereka.
Hadits keumuman tentang ziarah kubur sbb :
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا، فَإِنَّهُ يُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ، وَلَا تَقُولُوا هُجْرً
Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, tapi (sekarang) berziarahlah kalian, sesungguhnya ziarah kubur dapat melunakkan hati, menitikkan (air) mata, mengingatkan pada akhirat, dan janganlah kalian berkata buruk (pada saat ziarah). (HR Hakim).
Dari dasar-dasar hadits inilah maka kami berpendapat bahwa Rosulullah pernah melakukan nyadran-an ini secara esensi. Karena nyadran sejatinya adalah sebuah tradisi yang di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur dari syariat/ syar'i.
Adapun nyadran Ala Rosulullah secara runtut sebagai berikut :
- Memperbanyak serta membiasakan puasa Sunnah di bulan Sya'ban
- Ziarah kubur/ makam
- Mendoakan ahli kubur
- Memohonkan ampun sesama muslim (keluarga, sodara, rekan, rekan, dll)
- Memperbanyak dzikir (sholawat, istighfar, baca Qur'an, dll)
- Membiasakan sedekah/ sedekah umum atau sedekah atas nama mayit.
CATATAN SAAT MEMBERSIHKAN MAQBAROH/ MAKAM ...
Terkait membersihkan atau merapikan rerumputan yang tumbuh secara berlebihan ataupun menghilangkan rerumputan yang sudah mati yang ada di areal makam adalah sesuatu yang sudah diketahui kebaikan atau kemaslahatannya. Hal itu sesuai dengan keindahan yang disukai Allah dan rasul-Nya, dan bagian dari pengamalan hadits “kebersihan itu adalah sebagian dari iman”. Namun ada satu riwayat dalam kitab I’anah at Thalibin karya Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha ad Dimyathi yang mengatakan:
ويسن أيضا وضع الجريد الأخضر على القبر وكذا الريحان ونحوه من الشيء الرطب ولا يجوز للغير أخذه من على القبر قبل يبسه لأن صاحبه لم يعرض عنه إلا عند يبسه لزوال نفعه الذي كان فيه وقت رطوبته وهو الاستغفار
Dalam redaksi kitab di atas, Imam Abu Bakar Muhammad Syatha ad Dimyathi mempunyai pendapat bahwa tidak boleh mencabut rumput yang masih segar. Namun, kalau hanya merapikan masih boleh misalkan rumputnya terlalu rimbun atau sudah mati. Karena tumbuh-tumbuhan tersebutlah yang mendoakan si mayit.
Jadi sebaiknya, kita rapikan saja rumput-rumput itu dengan gunting, sabit, atau benda tajam lainnya. Yang masih segar biarkan, karena yang penting adalah merapikan, karena kebersihan dan kerapian adalah sebuah bentuk kemaslahatan. Oleh karena itu, tradisi ini baik untuk dilakukan kapan saja dan juga harus boleh dilakukan pada menjelang Ramadhan seperti tradisi yang berkembang di masyarakat.
________________________
20 Sya'ban 1445 H/ 01 Maret 2024
Ingsun Sholihin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar