Minggu, 15 Februari 2015

FIQIH TAHLIL



 FIQIH TAHLIL PERINGATAN 3, 7, 20, 40, 100 HARI 
UNTUK ORANG YANG MENINGGAL

Tradisi yang berkembang di kalangan NU, jika ada orang yang meningal maka akan diadakan acara tahlilan, doa, dzikir fida dan lain sebagainya. Untuk mendoakan orang yang meninggal dan biasanya dibarengi dengan jamuan makanan sebagai shodaqoh untuk si mayit.

Dalil yang digunakan hujjah dalam masalah ini yaitu sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Hawi li al-Fatawi li as-Syuyuti juz 2 halaman 183:

قَالَ طَاوُسِ: اِنَّ اْلمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِىْ قُبُوْرِهِمْ سَْعًا فَكَانُوْا يُسْتَحَبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلاَيَّامِ-اِلَى اَنْ قَالَ-عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرِ قَالَ: يُفْتَنُ رَجُلَانِ مُؤْمِنٍ وَمُنَافِقٍ فَأَمَّا اْلمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا وَاَمَّا الْمُنَافِقُ يُفْتَنُ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا.

“Imam Thawus berkata: “Seorang yang mati akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan sebuah jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari-hari tersebut. Sampai kata-kata: “Dari sahabat Ubaid bin Umair, dia berkata: “Seorang mukmin dan seorang munafik sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan mengalami ujian selama 7 hari, sedang seorang munafik selama 40 hari di waktu pagi.”

Dalil di atas adalah sebuah atsar yang menurut Imam as-Suyuthiy derajatnya sama dengan hadis marfu’ mursal, maka dapat dijadikan hujjah. Makna penjelasannya sebagai berikut:

اِنَّ أَثَرَ طَاوُسَ حُكْمُهُ حُكْمُ اْلحَدِيْثِ الْمَرْفُوْعِ اْلمُرْسَلِ وَاِسْنَادُهُ اِلَى التَّابِعِى صَحِيْحٌ كَانَ حُجَّةً عِنْدَ اْلاَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ اَبِي حَنِيْفَةَ وَمَالِكٍ وَاَحْمَدَ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ وَاَمَّا عِنْدَ الشَّافِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَاِنَّهُ يَحْتَجُ بِاْلمُرْسَلِ اِذَا اعْتَضَدَ بِاَحَدِ أُمُوْرٍ مُقَرَّرَةٍ فِى مَحَلِهَا فِيْهَا مَجِيْئِ آخَرَ اَوْ صَحَابِيِّ يُوَافِقُهُ وَالْاِعْتِضَادِ هَهُنَا مَوْجُوْدٌ فَاِنَّهُ رُوِيَ مِثْلُهُ عَنْ مُجَاهْدِ وَعَْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرِ وَهُمَا تَابِعِيَانِ اِنْ لَمْ يَكُنْ عُبَيْدٌ صَحَابِيًا.

“Jika sudah jadi keputusan, atsar (amal sahabat Thawus) di atas hukumnya sama dengan hadist marfu’ mursal dan sanadnya sampai pada tabi’in itu shahih dan telah dijadikan hujjah yang mutlak (tanpa syarat) bagi tiga Imam (Maliki, Hanafidan Hanbali). Untuk Imam asy-Syafi’i ia mau berhujjah dengan hadits mursal jika dibantu atau dilengkapi dengan salah satu ketetapan yang terkait dengannya, seperti adanya hadits yang lain atau kesepakatan sahabat. Dan kelengkapan yang dikehendaki Imam asy-Syafi’i itu ada, yaitu hadits serupa riwayat dari Mujahid dan dari Ubaid bin Umair yang keduanya dari golongan tabi’in, meski mereka berdua bukan sahabat.”

Lebih jauh, Imam as-Suyuthiy menilai hal tersebut merupakan perbuatan sunnah yang telah dilakukan secara turun temurun sejak masa sahabat. Kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam as-Suyuthiy, abad ke-10 Hijriyah) di Mekah dan Madinah. Yang  jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi Muhammad Saw. sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari Ulama Salaf sejak generasi pertama (masa sahabat Nabi Muhammad Saw).”

Selanjutnya dalam Hujjah AhlussunnAh wal Jama’ah, juz 1 halaman 37 dikatakan:

قَوْلُهُ-كَانُوْا يُسْتَحَبُّوْنَ-مِنْ بَابِ قَوْلِ التَّابِعِي كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ-وَفِيْهِ قَوْلَانِ لِاَهْلِ الْحَدِيْثِ وَاْلاُصُوْلِ أَحَدُهُمَا اَنَّهُ اَيْضًا مِنْ بَابِ اْلمَرْفُوْعِ وَأَنَّ مَعْنَاهُ: كَانَ النَّاسُ يَفْعَلُوْنَ فِى عَهْدِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَعْلَمُ بِهِ وَيُقِرُّ عَلَيْهِ.

“(Kata-kata Imam thawus), pada bab tentang kata-kata tabi’in, mereka melaksanakannya. Dalam hal ini ada dua pendapat: Pendapat Ahli Hadits dan Ahli Ushul yang salah satunya termasuk hadits marfu’, maksudnya orang-orang di zaman Nabi melaksanakan hal itu, Nabi sendiri tahu dan menyetujuinya.”

Dalam kitab Nihayat az-Zain juz 1 halaman 281 juga disebutkan:

وَالتَّصَدُّقُ عَنِ اْلمَيِّتِ بِوَجْهٍ شَرْعِيٍّ مَطْلُوْبٌ وَلَا يُتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ فِيْ سَبْعَةِ اَيَّامٍ اَوْ اَكْثَرَ اَوْ اَقَلَّ وَتَقْيِيْدُهُ بِبَعْضِ اْلاَيَّامِ مِنَ اْلعَوَائِدِ فَقَطْ كَمَا اَفْتَى بِذَلِكَ السَّيِّدِ اَحْمَدء دَحْلَانِ وَقَدْ جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِالتَّصَدُّقِ عَنِ اْلمَيِّتِ فِي ثَالِثٍ مِنْ مَوْتِهِ وَفِي سَابِعٍ وَفِيْ تَمَامِ اْلعِشْرِيْنَ وَفِي اْلاَرْبَعِيْنَ­ وَفِي الِمأَةِ وَبِذَلِكَ يُفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلًا فِي اْلمَوْتِ كَمَا اَفَادَهُ شَيْخَنَا يُوْسُفُ السُنْبُلَاوِيْنِيْ.

“Dianjurkan oleh syara’ shodaqoh bagi mayit. Dan shodaqoh itu tidak ditentukan pada hari ke-7, sebelumnya maupun sesudahnya. Sesungguhnya pelaksanaan shodaqoh pada hari-hari tertentu itu cuma sebagai kebiasaan (adat) saja, sebagaimana fatwa Sayyid Ahmad Dahlan yang mengatakan: “Sungguh telah berlaku di masyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ke-3 dari kematian, hari ke-7, 20, dan ketika genap 40 hari serta 100 hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya (haul). Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Yusuf as-Sumbulawini.”

Adapun istilah “Tujuh Hari” dalam acara tahlil bagi orang yang sudah meninggal, hal ini sesuai dengan amal yang dicontohkan sahabat Nabi Saw. Imam Ahmad bin Hanbal Ra. berkata dalam kitab az-Zuhd, sebagaimana dikutip oleh Imam as-Suyuthiy dalam kitab al-Hawi li al-Fatawi juz 2 halaman 178:

حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنَا اْلأَشْجَعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ طَاوُسُ: إِنَّ اْلمَوْتَ يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامِ (الحاوي للفتاوي,ج:۲,ص:۱­۷۸

“Hasyim bin al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata: “Al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, ia berkata: “Imam Thawus berkata: “Orang yang meninggal dunia diuji selama 7 hari di dalam kubur mereka, maka kemudian para kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama 7 hari itu.”

Imam as-Suyuthiy berkata dalam kitab al-Hawi li al-Fatawi juz 2 halaman 194:

أَنَّ سُنَّةَ اْلإِطْعَامِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ بَلَغَنِي أَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ إِلَى اءلآنَ بِمَكَّةَ وَاْلمَدِيْنَةَ فَالظَّاهِرُ أَنَّهَالمَ ْتَتْرُكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى اْلآنَ وَأَنَّهُمْ أَخَذُوْهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إِلَى الصَّدْرِ اْلأَوَّلِ (الحاوي للفتاوي,ج:۲,ص:۱۹۴)

“Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama 7 hari merupakan kebiasaan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman Imam as-Suyuthiy) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi Saw. sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat Saw.).”

Dari beberapa dalil di atas dapat disimpulkan bahwa kebiasaan masyarakat terkhusus NU tentang penentuan hari dalam peringatan kematian itu dapat dibenarkan secara syara’.   
(Diambil daru www.nu.org )

KEUTAMAAN SURAH AL-FATIHAH



بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Kami Memulai dengan……
keutamaan Surat Al-Fatihah, (MUKADDIMAH AL-QUR’AN)
Untuk Anda Insan Mulia...
Sekarang…, Simaklah dan Resapi…..
Dalam ranah interpretasi al-Qur’an, surah al-Fatihah sering dianggap sebagai mukaddimah al-Qur’an yang bisa memberikan benang merah ajaran al-Qur’an. Dengan memahami kandungan surah al-Fatihah, diharapkan seorang pengkaji al-Qur’an memiliki basis pengetahuan yang kokoh untuk selanjutnya digunakan untuk lebih jauh mengakses makna-makna yang hendak dibangun dan dikembangkan dalam ajaran al-Qur’an.   Alasan yang mendasari asumsi ini adalah bahwa al-Fatihah telah ditetapkan sebagai surah wajib yang harus dibaca setiap kali shalat hendak ditegakkan. Artinya, dalam sehari semalam saja seorang muslim diharapkan membaca al-fatihah sebanyak 17 kali, sesuai jumlah raka’at shalat wajib. Selain itu, Rasulullah sendiri telah menyampaikan sebuah hadits qudsi yang ia riwayatkan dari Allah Swt. tentang keutamaan al-fatihah.

عن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : قَالَ اللَّهُ تَعَالَى   : قَسَمْتُ الصَّلاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ  )) : الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (( قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : حَمِدَنِي عَبْدِي .وَإِذَا قَالَ :  ))الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (( قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي .وَإِذَا قَالَ  )) :مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (( قَالَ : مَجَّدَنِي عَبْدِي - وَقَالَ مَرَّةً : فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي .فَإِذَا قَالَ)) : إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ(( قَالَ : هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ .فَإِذَا قَالَ : ))اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ(( قَالَ : هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ . رواه مسلم

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Allah Swt berfirman : Saya membagi shalat (surah al-fatihah) menjadi dua bagian. Keduanya dibagi antara Aku dan hamba-Ku. HambaKu berhak mendapatkan apa yang mereka minta. Jika seorang hamba membaca al-Hamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin, Allah berkata “Hamba-Ku memuji Aku. Jika hamba membaca ar-Rahman ar-Rahim, Allah berkata, “Hamba-Ku mengagungkan diri-Ku. Jika hamba membaca Malik Yaumiddin, maka Allah berkata : sungguh hamba-Ku memuliakan nama-Ku. Manakala seorang hamba membaca : Iyyaka Na’budu Waiyyaka Nas’tain, Allah berkata : ibadah ini adalah hubungan Aku dengan hamba-Ku. Sedang hambak-Ku akan memperoleh apa yang ia minta. Jika hamba membaca : Ihdina Shirathal Mustqqim, Shirathallazina An’amta Alaihim Ghairil Maghdhubi ‘Alaihim Walladdhallin, maka Allah mengatakan : ini bagian hamba-Ku dan mereka akan memperoleh apa yang mereka minta.[1]
Makna hadits di atas memetakan al-Fatihah menjadi tiga kategori utama :
A.  Tauhid yang merupakan hak Allah Swt. Yang terangkum dari basmalah hingga ayat ke-4.
B.  Pembagian hak dan kewajiban antara Allah dan hamba-Nya pada ayat ke-5. Ibadah sebagai hak Allah swt dan merupakan kewajiban hamba. Sedang isti’anah merupakan hak seorang hamba setelah ia menunaikan kewajibannya berupa ibadah. Isti’anah ini telah Allah tetapkan sebagai kewajiban-Nya sendiri.
C.  Isti’anah yang tertera pada ayat ke-5 tersebut mengindikasikan bahwa ayat-ayat setelahnya semuanya masuk dalam kategori hak hamba. Isti’anah yang dimaksud adalah ajaran berupa do’a permintaan yang hendaknya diprioritaskan. Yaitu permintaan hidayah dalam segala keadaan sebelum meminta fasilitas lain yang pada prinsipnya untuk mendukung pelaksanaan ibadah tersebut. Seperti, rumah, kendaraan, status sosial, dll. Karakter hidayah yang diminta adalah hidayah yang telah diterima dengan baik, berupa iman dan amal yang telah dipraktekkan secara paripurna oleh para nabi, shiddiqiin, syuhada dan shalihin. Kesatuan iman dan amal ini disebut hidayah taufiq dalam terminologi syari’ah. Atau pun berdasarkan istilah al-Fatihah sendiri, mereka itu adalah para penempuh jalan yang lurus (shiratal mustaqim), yaitu jalan iman dan amal dengan tingkat konsistensi yang mapan, hingga ajal menjemput mereka. Hidayah yang hanya bisa dinikmati secara sempurna oleh orang-orang tersebut di atas. Adapun selain mereka, hidayah irsyad yang wujudnya berupa petunjuk tertulis dalam al-Qur’an dan Sunnah yang belum teraflikasi dalam kehidupan nyata seseorang. Hidayah yang tidak merasuk ke dalam pikiran dan hati seseorang sehingga berpengaruh pada pola tingkah laku dan pola pikir yang integral dalam kerangka tauhid kepada Allah Swt. Hidayah seperti ini hanya akan menjadi bumerang bagi seluruh manusia, sebagaiman disinyalir oleh Rasulullah Saw dalam sebuah sabdanya, “Al-Qur’an merupakan hujjah yang akan membelamu (apabila engkau wujudkan dalam kehidupan nyata) atau menjadi bumerang manakala Engkau lalai dari petunjuknya”. Tipikal komunitas yang menyimpang dari jalan yang lurus adalah komunitas kaum Yahudi yang berbekal ilmu yang banyak. Hal ini terbukti dengan banyaknya nabi yang diutus kepada mereka. Namun mereka tidak mewujudkannya dalam amal nyata. Bahkan yang mereka lakukan adalah menentang, menyelisihi dan bahkan membunuh nabi-nabi yang diutus. Sedang di fihak lain, komunitas Nasrani sangat rajin beramal dan semangat beribadah, tetapi nihil ilmu sehingga berujung pada kesesatan.

    KEUTAMAAN SURAH AL-FATIHAH
   Surah al-Fatihah memiliki  beberapa keutamaan, di antaranya :
   A.    Pintu langit dibuka ketika diturunkan dan juga sebagai cahaya.

عن ابن عباس رضي الله عنهما قالبينما جبريل قاعد عند النبي صلى الله عليه وسلم سمع نقيضا من فوقه فرفع رأسه فقال : هذا باب من السماء فتح اليوم ، لم يفتح قط إلا اليوم ، فنزل منه ملك فقال : هذا ملك نزل إلى الأرض ، لم ينزل قط إلا اليوم ، فسلم وقال : أبشر بنورين أوتيتهما ، لم يؤتهما نبي قبلك ؛ فاتحة الكتاب ، وخواتيم سورة البقرة ، لن تقرأ بحرف منهما إلا أعطيته  ..   ]رواه مسلم وصححه الألباني في صحيح الترغيب و الترهيب / 1456 [ ..
Dari Ibnu Abbas ra ia berkata, “Ketika Jibril sedang duduk bersama nabi Saw, ia mendengar suarah gemuruh dari atas, lalu ia melihat ke atas sambil berkata, “itu adalah pintu langit yang terbuka hari ini. Sebalumnya tidak pernah dibuka sama sekali. Lalu turunlah mailkat darinya. Jibril berkata, “inilah salah satumalaikat turun dari langit. Ia sama sekali belum pernah turun ke bumi sebelumnya. Lalu sang malaikat mengucapkan salam kemudian berkata : Bergembiralah dengan dengan dua cahaya yang akan diberikan kepadamu. Keduanya belum pernah sama sekali diberikan kepada seorang nabi pun sebelum Engkau. Yaitu surah al-Fatihah dan penutup surah al-Baqarah….[2]

Sebagai do’a penyembuh penyakit (rukyah).

عن ‏ ‏أبي سعيد الخدري ‏ ‏قال :‏ (( كنا ‏ في مسير لنا فنزلنا فجاءت جارية فقالت إن سيد الحي سليم وإن ‏ ‏نفرنا غيب ‏ ‏فهل منكم ‏ ‏راق ‏ ‏فقام معها ‏ ‏رجل ‏ ‏‏ما كنا ‏نأبنه برقية فرقاه فبرأ فأمر له بثلاثين شاة وسقانا لبنا فلما رجع قلنا له أكنت ‏ تحسن رقية أو كنت ‏ ترقي قال لا ‏ ‏ ما ‏ رقيت إلا ‏ ‏بأم الكتاب ‏ ‏قلنا لا تحدثوا شيئا حتى نأتي أو نسأل النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏فلما قدمنا ‏ ‏المدينة ‏ ‏ذكرناه للنبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏فقال ‏ وما كان يدريه أنها ‏ ‏رقية ‏ ‏اقسموا واضربوا لي بسهم)) (( .. رواه البخاري ( ..

Dari Abu Said al-Khudri r.a. ia berkata, “Ketika kami melakukan perjalanan jauh, lalu kami singgah di sebuah perkampungan. Lalu tiba-tiba datang seorang budak perempuan sambil berkata,  tetua kampung kami sedang sakit, apakah di antara kalian ada yang bisa ? Lalu salah seorang di antara kami bangkit dan sebelumnya ia tidak memiliki pengalaman mengobati. Ia lalu membacakan baca’an ruqyah padanya hingga tetua kampung tersebut sembuh. (sebagai hadiah) ia diberikan 30 kambing dan kami juga dijamu dengan susu segar. Ketika ia kembali, kami bilang kepadanya, kamu memang bisa meruqyah atau pernah meruqyah ? Dia bilang : saya tidak mengobatinya kecuali dengan bacaan ruqyah surah al-Fatihah.  Kami sarankan padanya agar tidak menceritakan hal ini atau nanti kita tanyakan saja masalah ini kepada Rasulullah Saw. Tatkala kami tiba di Madinah, kami menyampaikan hal itu kepada beliau. Lalu beliau berkata, “Siapa yang mengajarinya bahwa al-Fatihah adalah bagian dari bacaan ruqyah. Kalau begitu, bagi-bagi saja hadiahnya. Jangan lupa untuk saya….[3]



[1] HR Muslim. kitab shahih al-Targib wa al-Tarhib no (1455).
[2] HR Muslim.  kitab shahih al-Targib wa al-Tarhib no (1456).
[3] HR Bukhari.