Senin, 01 April 2019



TRADISI NYADRAN AGENG TAHUNAN DI KAMPUNG MALANGAN


Yogyakarta – Warga RW 13 kampung Malangan, Giwangan menggelar kegiatan Nyadran Ageng di Masjid Nurul Huda Malangan pada hari Ahad (06/05) lalu.  Agenda Nyadran Ageng ini rutin dilakukan setiap tanggal 20 bulan Ruwah (Sya’ban) tiap tahunannya, dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan. Agenda Nyadran kali ini ini dihadiri sedikitnya 150 - 200 warga, baik dari warga Malangan ataupun warga sekitar seperti kampung Sanggrahan, Donoloyo, Mahesan, Dladan, dan Nglebeng. Semua yang hadir adalah para ahli waris makam malangan sisi utara dan selatan. “Alhamdulillah agenda nyadran tahun ini makin banyak yang hadir. Menurut laporan teman-teman lebih dari 150 warga yang hadir, baik dari warga malangan sendiri maupun warga atau ahli waris kampung – kampung sekitar. Kami berharap ke depan akan lebih banyak dan  meriah lagi.” Tutur Muhammad Hakam selaku ketua RW 13 Kampung Malangan.
Tradisi Nyadran Ageng di Malangan ini juga berfungsi sebagai wadah silaturahmi antar ahli waris masyarakat Malangan dengan ahli waris dari masyarakat kampung sekitar. Agenda Nyadran Ageng ini sudah berjalan lebih dari setengah Abad, dan tetap lestari sampai sekarang. “Seingat saya Tradisi nyadran  ini sudah ada kisaran tahun 1950-an, sebelum saya lahir, dan saat saya masih kecil Tradisi Nyadran-an ini sudah berjalan baik, dulu tempatnya masih di makam namun kemudian dipindah di masjid”, papar M.Hakam. Agenda Nyadran Ageng ini juga didukung dan dihadiri pejabat pemerintahan desa setempat, seperti Lurah Giwangan, Kasi Trantib Kelurahan, dan LPMK kelurahan Giwangan. Bahkan Lurah Giwangan sempat memberikan dukungan, sambutan, dan apresiasi yang luar biasa atas agenda Nyadran tahunan ini. “Kami dari unsur pemerintahan pada tahun ini memasukkan agenda Nyadran semacam ini dalam anggaran APBD kami, tiap kampung yang mengadakan Sadranan akan menerima dana oprasional sebesar 2 juta rupiah”.Jelas Drs. Suradi, selaku Lurah Kelurahan Giwangan. “Walau dana ini tidak seberapa, semoga ini menjadi salah satu faktor pendukung lestarinya tradisi nyadran ini”, tandasnya.


Adapun rangkainan agenda Nyadran Ageng ini, berupa Pembacaan Rotib Tahlil dan do’a oleh ‘Mbah Kaum’ atau Rois yakni K.H. Muhammad Duri Mz, bersama – sama melaksanakan Birrul walidain mendoakan para leluhur yang berada di makam Malangan sisi utara dan selatan. KH.M.Duri menjelaskan, “Ini juga sebagai wujud syukur atas nikmat karunia Tuhan (Alloh SWT) dan juga sebagai wujud Birrul Walidain (berbakti) kepada orang tua maupun leluhur yang telah tiada”.  Selesai Tahlil, acara disambung dengan Ta’lim atau  Pengajian. Kali ini yang berindak sebagai pembicara adalah K.H. Drs. Hedri Sutopo dari Krapyak Yogyakarta. Dalam pengajian tersebut, dijelaskan bahwa Negara Indonesia akan tetap ada dan eksis bilamana warganya atau rakyatnya masih dan tetap melakukan tradisi Nyadran semacam ini.“NKRI akan tetap ada, aman, tentram, maju, dan sejahtera bilamana rakyatnya tetap menjaga tradisi semacam ini. Mengapa demikian..??? karena insyaAlloh warga atau rakyat indonesia yang menggelar Nyadran-an tidak akan pernah membahas pergantian presiden, kudeta, maupun mengganti Republik Indonesia menjadi bentuk pemerintahan lain”, papar Hendri Sutopo. “Malah di dalam majlis Nyadran ini kita senantiasa berdoa untuk keselamatan, kebaikan, dan kejayaan  Negara Indonesia tercinta”, sambung Hendri. Dan memang demikian nyata adanya, karena di akhir sesi pengajian langsung ditutup dengan doa untuk kebaikan bersama dan kebaikan Bangsa. (Isho)

Jumat, 29 Maret 2019



Shalawat Nariyah, Tuduhan Syirik, dan Ilmu Sharaf Dasar Shalawat Nariyah, Tuduhan Syirik, dan Ilmu Sharaf Dasar


Popularitas shalawat Nariyah di kalangan umat Islam di Nusantara memang tak terbantahkan. Namun, apakah ia lantas bersih dari para penolaknya? Ternyata tidak. Sebuah fenomena yang sesungguhnya sangat lumrah dalam kehidupan beragama.

Lewat beragam sudut, beberapa orang melancarkan vonis bahwa pengamalan shalawat Nariyah termasuk melenceng dari ajaran Rasulullah alias bid’ah. Sebagian yang lain mengahakimi secara lebih ekstrem: syirik atau menyekutukan Allah.

Vonis bid’ah umumnya berangkat dari alasan tak ditemukannya hadits atau ayat spesifik tentang shalawat Nariyah. Sementara tuduhan syirik berasal dari analisa terjemahan atas redaksi shalawat yang dinilai mengandung unsur kemusyrikan. Yang terakhir ini menarik, karena tuduhan “sekejam” itu ternyata justru muncul hanya dari analisa kebahasaan. Benarkah demikian?

Kita simak dulu redaksi shalawat Nariyah secara lengkap sebagai berikut:

اَللّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ فِى كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ

Perhatian para penuduh shalat Nariyah mengandung kesyirikan umumnya tertuju pada empat kalimat berurutan di bawah ini:

تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ

Kalimat-kalimat itu pun dirinci lalu diterjemahkan begini:

تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ

Artinya: "Segala ikatan dan kesulitan bisa lepas karena Nabi Muhammad."

وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ

Artinya: "Segala bencana bisa tersingkap dengan adanya Nabi Muhammad."

وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ

Artinya: "Segala kebutuhan bisa terkabulkan karena Nabi Muhammad."

وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ

Artinya: "Segala keinginan bisa didapatkan dengan adanya Nabi Muhammad."

Menurut para penuduh itu, empat kalimat tersebut sarat kesyirikan karena secara terjemahan mengandung pengakuan bahwa Nabi Muhammad memiliki kemampuan yang hanya dimiliki Allah, seperti bisa menghilangkan kesulitan, menghilangkan bencana, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan serta doa hanyalah Allah.

Bantahan dari Ilmu Sharaf dan Nahwu Dasar

Shalawat Nariyah atau disebut juga shalawat Tâziyah atau shalawat Tafrîjiyah berasal bukan dari Indonesia. Ia dikarang oleh ulama besar asal Maroko, Syekh Ahmad At-Tazi al-Maghribi (Maroko), dan diamalkan melalui sanad muttashil oleh ulama-ulama di berbagai belahan dunia. Tak terkecuali Mufti Mesir Syekh Ali Jumah yang memperoleh sanad sempurna dari gurunya Syaikh Abdullah al-Ghummar, seorang ahli hadits dari Maroko.

Jika shalawat Nariyah dianggap syirik, ada beberapa kemungkinan. Pertama, para ulama pengamal shalawat itu tak mengerti tentang prinsip-prinsip tauhid. Ini tentu mustahil karena mereka besar justru karena keteguhan dan keluasan ilmu mereka terhadap dasar-dasar ajaran Islam. Kedua, pengarang shalawat Nariyah, termasuk para pengikutnya, ceroboh dalam mencermati redaksi tersebut sehingga terjerumus kepada kesyirikan. Kemungkinan ini juga sangat kecil karena persoalan bahasa adalah perkara teknis yang tentu sudah dikuasai oleh mereka yang sudah menyandang reputasi kelilmuan dan karya yang tak biasa. Ketiga, para penuduhlah yang justru ceroboh dalam menghakimi, tanpa mencermati secara seksama dalil shalawat secara umum, termasuk juga aspek redaksional dari shalawat Nariyah.

Dilihat dari segi ilmu nahwu, empat kalimat di atas merupakan shilah dari kata sambung (isim maushul) الذي yang berposisi sebagai na‘at atau menyifati kata محمّد.

Untuk menjernihkan persoalan, mari kita cermati satu per satu kalimat tersebut.

تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ

Pertama, تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ .

Dalam kacamata ilmu sharaf, kata تَنْحَلُّ merupakan fi’il mudlari‘ dari kata انْحَلَّ. Bentuk ini mengikuti wazan انْفَعَلَ yang memiliki fungsi/faedah لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ (dampak dari فَعَلَ). Demikian penjelasan yang kita dapatkan bila kita membuka kitab sharaf dasar, al-Amtsilah at-Tashrîfiyyah, karya Syekh Muhammad Ma’shum bin ‘Ali.

Contoh:

كَسَرْتُ الزُّجَاجَ فَانْكَسَرَ

“Saya memecahkan kaca maka pecahlah kaca itu.” Dengan bahasa lain, kaca itu pecah (انْكَسَر) karena dampak dari tindakan subjek “saya” yang memecahkan.

Contoh lain:

حَلّ اللهُ  العُقَدَ فَانْحَلَّتْ

“Allah telah melepas beberapa ikatan (kesulitan) maka lepaslah ikatan itu.” Dengan bahasa lain, ikatan-ikatan itu lepas karena Allahlah yang melepaskannya.

Di sini kita mencermati bahwa wazan انْفَعَلَ mengandaikan adanya “pelaku tersembunyi” karena ia sekadar ekspresi dampak atau kibat dari pekerjaan sebelumnya.

Kalau تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ dimaknai bahwa secara mutlak Nabi Muhammad melepas ikatan-ikatan itu tentu adalah kesimpulan yang keliru, karena tambahan bihi di sini menunjukkan pengertian perantara (wasilah). Pelaku tersembunyinya (dan hakikinya) tetaplah Allah—sebagaimana faedah لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ.

Hal ini mengingatkan kita pada kalimat doa:

رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي  وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي  يَفْقَهُوا قَوْلِي

“Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah ikatan/kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.”

Kedua, تَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ

Senada dengan penjelasan di atas, تَنْفَرِجُ merupakan fi’il mudlari‘ dari kata انْفَرَجَ, yang juga mengikuti wazan انْفَعَلَ. Faedahnya pun sama لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ (dampak dari فَعَلَ).

Ketika dikatakan تَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ maka dapat diandaikan bahwa فَرَجَ اللهُ الكُرَبَ فَانْفَرَجَ. Dengan demikian, Allah-lah yang membuka atau menyingkap bencana/kesusahan, bukan Nabi Muhammad.

Ketiga, تُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ

Kata تُقْضَى adalah fi’il mudlari‘ dalam bentuk pasif (mabni majhûl). Dalam ilmu nahwu, fi’il mabni majhul tak menyebutkan fa’il karena dianggap sudah diketahui atau sengaja disembunyikan. Kata الْحَوَائِجُ menjadi naibul fa’il (pengganti fa’il). Ini mirip ketika kita mengatakan “anjing dipukul” maka kita bisa mengandaikan adanya pelaku pemukulan yang sedang disamarkan.

Dengan demikian kita bisa mengandaikan kalimat lebih lengkap dari susunan tersebut.

يَقْضِي اللهُ الْحَوَائِجَ

“Allah akan mengabulkan kebutuhan-kebutuhan.”

Keempat, تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ

Penjelasan ini juga nyaris sama dengan kasus تُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ. Singkatnya, Nabi Muhammad bukan secara mutlak memiliki kemampuan memberikan keinginan-keinginan karena Allah-lah yang melakukan hal itu yang dalam kalimat tersebut disembunyikan. Fa’il tidak disebutkan karena dianggap sudah diketahui.

Alhasil, dapat dipahami bahwa tuduhan syirik atas kalimat-kalimat itu sesungguhnya keliru. Sebab, kemampuan melepas kesulitan, menghilangkan bencana/kesusahan, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan-keinginan secara mutlak hanya dimiliki Allah. Dan ini pula yang dimaksudkan pengarang shalawat Nariyah, dengan susunan redaksi shalawat yang tidak sembrono. Hanya saja, dalam redaksi shalawat Nariyah tersebut diimbuhkan kata bihi yang berarti melalui perantara Rasulullah, sebagai bentuk tawassul.

Bahasa Arab dan bahasa Indonesia memang memiliki logika khas masing-masing. Karena itu analisa redaksi Arab tanpa meneliti struktur bakunya bisa menjerumuskan kepada pemahaman yang keliru. Lebih terjerumus lagi, bila seseorang membuat telaah, apalagi penilaian, hanya dengan modal teks terjemahan. Wallahu a’lam.

Sumber